Posted: September 6, 2020
“Mennonites, kamu di mana?”
Saya dan kolega duduk di satu kafe di Winnipeg, Kanada, mendiskusikan suku-suku asli yang memperjuangkan tanah leluhurnya. Saya menyimak dengan seksama ketika ia menjelaskan tentang Unist’ot’en, Muskrat Falls dan Tiny House Warriors. Saya mengangguk dan memberikan komentar-komentar pendek. Tapi di tengah pembicaraan, ia jadi tidak sabar dan bertanya:
“Orang-orang Mennonites mana? Kamu banyak kisah martir di zaman dahulu. Sekarang kita ditindas dan menderita. Martirmu yang sekarang di mana?”
Saya kaget, tidak tahu bagaimana merespon. Saya harus jujur bahwa gereja sering gagal mendampingi mereka yang miskin dan tidak mau mengambil risiko ketika membela mereka. Saya lalu bercerita apa yang sudah kami lakukan. Kolega saya tidak percaya. Pandangannya berpaling ke jendela yang jauh dari tempat kita duduk. Satu menit berlalu tanpa ada yang bicara, sampai akhirnya kami mengakhiri pembicaraan dan meninggalkan tempat.
Sambil naik sepeda ke kantor, pikiran saya kembali ke pertanyaannya, “Martirmu yang sekarang di mana?” Saya ingin membela diri dan menjauhkan diri dari pertanyaan ini. Tapi hati saya merasakan keputus asaannya – untuk bumi, orang tertindas, dan bahkan untuk gereja.
Di kantor, saya memandangi dinding yang dipenuhi poster dan kutipan perkataan para martir– Yohanes Pembaptis, Martin Luther King, Ellacuria dan banyak lainnya. Sambil berdoa. Pandangan saya terpaku pada kutipan para uskup Katolik di Asia, pernyataan berusia 42 tahun:
“Selama para gembala gereja tidak siap menjadi martir untuk keadilan, tapi mau hidup nyaman di luar dan di atas penderitaan mereka yang tertindas, mereka tidak akan berdampak.”
Saya menghela napas dan menutup mata.
Seperti banyak orang Mennonite lain, saya tahu persekusi yang dialami pendahulu Anabaptis di abad XVI. Seperti banyak orang Kristen lain, “Pikullah salibmu dan ikutlah Aku,” membayangi saya. Tapi saya merasa perjalanan iman seperti ini berat sekali.
Apakah saya mau, seperti Kristus, untuk memikul beban dari keselamatan? Di gereja yang secara rutin mengingat jasa para martir, apakah saya siap untuk menjadi martir juga, atau saya hanya bisa menghapal cerita martir?
Saya menulis pesan pendek ke Chris Huebner, profesor filosofi dan teologi di Canadian Mennonite University yang mengajar tentang kemartiran. Tidak lama sesudahnya, kami bertemu dan berbincang selama dua jam. Sambil mendengar penjelasannya, saya belajar:
- Kesaksian yang nyata dan bisa dicontoh, bukan kematian, adalah hal yang terpenting. Gereja punya martir yang dibunuh karena imannya tapi juga punya saksi-saksi yang tetap hidup walaupun mengalami persekusi karena kesaksiannya. Kita tidak bisa menciptakan martir tapi bisa memilih untuk menjadi saksi, apapun harganya.
- Ada martir di tengah-tengah kita. “Bila kita percaya,” kata Chris, “apa yang orang Kristen percayai tentang Tuhan dan Gereja, pasti ada martir di tengah-tengah kita. Itu pasti. Tapi siapa mereka dan bagaimana bentuk kemartirannya, itu lebih sulit dijawab.” Namun demikian, Chris menambahkan, “Kalau kita percaya apa yang selama ini kita gaungkan tentang Yesus dan orang miskin, dalam konteks Kanada, perjuangan suku-suku asli penuh dengan martir.”
Dalam perjalanan pulang, saya mensyukuri percakapan mendalam tadi. Saya perlu mendengar itu. Abraham Heschel (1907-1972), orang Yahudi yang hidupnya penuh dengan kesaksian profetik, pernah mengatakan:
“Bagi seorang nabi, kehadiran Tuhan tidak ditandai dalam bentuk keamanan dan kenyamanan; baginya, keamanan dan kenyamanan adalah tantangan, permintaan tanpa henti.”
Sebelum tidur malam itu, saya memikirkan pertanyaan kolega saya sebelumnya, “Orang-orang Mennonites mana?” – dan bersyukur karena ia menanyakan hal itu, walaupun tidak nyaman.
—Steve Heinrichs adalah direktur Indigenous-Settler Relations untuk Mennonite Church Canada. Dengan istrinya Ann dan 3 anaknya, ia tinggal di Winnipeg – Treaty 1 territory dan di Tanah Orang Metis. Ia adalah anggota Hope Mennonite Church, komunitas pengikut Kristus.
Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Canadian Mennonite. Digunakan dengan izin.
Join the Conversation on Social Media
FacebookTwitterInstagramFlickrYouTube